“Seratus ribu!” gumam Alip bersama matanya yang mengembang, “Beneran ini untuk saya bu?” ia masih tidak percaya.
Perempuan itu hanya tersenyum, sedikit mengangguk sambil memandangi wajah sumringah bocah itu.
“Terimakasih bu, terimakasih,” ia meraih tangan perempuan itu dan menciumnya.
Ia
kemudian berlari dengan gembira terpancar di wajahnya, hilang semua
lelah dan dahaga sebelumnya. Aku akan membelikan ayah sarung dan juga
kopiahnya, akan ku beli motif yang sama untukku juga, agar kami
kelihatan kompak saat tarawih di mushola, suara Alip dari hati.
***
Lima
jam lalu ketika matahari belum terlalu tinggi, Alip mengayuh kakinya
dengan semangat, senyum tampak mengembang di wajahnya, saku celana
lusuhnya membumbung dan tercipta bunyi koin-koin yang beraradu di tiap
langkahnya. Dua puluh empat ribu lima ratus rupiah, jumlah yang sudah ia
pastikan sebelumnya, saat mentari belum terbangun di timur pagi, bahkan
Alip telah menghitungnya. Ia menyobek kaleng susu yang dijadikannya
sebagai tempat menyisihkan uang kertas juga koin-koin hasil jerih payah
memulung gelas dan botol plastik sejak sembilan minggu lalu. Pasar hanya
tinggal beberapa puluh meter di depan mata, ia ingin mewujudkannya kali
ini, menghadiahi Ayahnya sepotong kain sarung.
Tak
lama setelahnya ia berdiri di muka sebuah toko kain, memberanikan diri
masuk dan menemui seorang karyawati yang sedang membenarkan susunan kain
di rak sebelah kiri, rak khusus tumpukan sarung yang menunggu pembeli.
“Berapa harga untuk yang ini?” Alip menunjuk sepotong kain sarung hijau bergaris merah kotak-kotak,
Karyawati
itu berenti menyusun sejenak, matanya melirik pada rambut bocah di
sampingnya yang pirang sebab sering terjemur terik matahari, kemudian
turun memandangi kaos putih yang tak lagi cerah dan celana merah persis
seperti yang di kenakan anak-anak setiap berangkat ke Sekolah Dasar,
juga telah kusam.
“Itu tiga puluh enam ribu,”
Si karyawati menyusun kain-kain di rak itu kembali.
“Dua puluh empat ribu lima ratus boleh?” tawar Alip
“Di
sini harga pas dek, tidak bisa ditawar,” wanita itu kemudian
mengarahkan telunjuk kanannya ke tumpukan kain sarung yang terletak
tepat di samping kaki kiri Alip, “Itu yang lebih murah, harganya dua
puluh delapan ribu. Paling murah diantara sarung merek lain, juga harga
pas.”
Sejenak
bocah itu terdiam, membalikan
badan lalu melangkah menuju pintu keluar. Itu adalah toko kain pertama
yang ia datangi, Alip yakin akan menemukan toko yang menjual kain sarung
dengan harga lebih murah yang mampu ia beli hari ini.
***
Matahari
semakin tinggi, teriknya berkolaborasi dengan asap produksi mesin
kendaraan yang merayap terjebak ramainya jalan raya di depan pasar,
terdengar juga ramainya bunyi klakson tanda mulai kesalnya para
pengendara yang sabarnya sedang diuji.
Sudah
keluar masuk toko kain untuk kesekian kali, bocah itu belum juga
membawa Sarung yang ingin ia beli. Tidak juga ia temukan toko yang
menjual kain sarung seharga paling tidak sama dengan uang di saku
celananya. Raut mukanya mulai membentuk mimik putus asa, cacing di
perutnya mulai bergemuruh minta diberi makan, dahaga juga hadir di balik
lehernya.
Hanya
saja, di hari pertama ini tekatnya masih kuat untuk menjalaninya.
Menahan diri, termasuk dari makan dan minum hingga saat senandung Adzan
berkumandang dari pengeras suara di atap-atap masjid atau di layar
televisi senja nanti.
Lelah
membuat ia menyandarkan tubuh kurusnya ke teras toko tak berpenghuni,
memutar otaknya, mencari cara agar hari ini bisa ia bawa pulang kepada
ayahnya sepotong kain sarung baru sebagai pengganti yang terdahulu. Ia
tidak ingin lagi melihat ayahnya pergi ke mushola dekat gubuk tempat
tinggalnya dengan mengenaka sarung yang penuh tambalan itu lagi.
Terfikirkan
olehnya untuk menunda beberapa hari, asal ia mengumpulkan gelas dan
botol plastik lebih giat lagi, ia yakin uangnya akan cukup untuk
membeli.
Ia
relakan keinginan menghadiahi ayahnya di hari ramadhan pertama ini,
hari yang tepat dengan ulang tahun lelaki yang ia sayangi itu.
Satu-satunya keluarga yang tersisa setelah ibunya wafat terserang demam
berdarah delapan belas bulan lalu. Terlambat beberapa hari tidak apalah,
pikirnya.
***
Dari
ujung lorong pasar terlihat perempuan paruh baya berjalan sendiri, gaya
berpakaianya rapih, mengenakan kerudung merah muda lengkap dengan
aksesoris seperti bunga mawar purih, gelagatnya seperti sedang dikejar
waktu, jelas ada sesuatu yang membuatnya tergesa-gesa.
Alip memperhatikan dengan penuh tanya di kepala, kiranya apa yang membuat perempuan paruh baya itu tergesa-gesa.
Sampai
saat perempuan itu tak menyadari ada sesuatu yang terlepas dari
pergelangan tangannya, tepat saat ia melintasi tempat Alip melepas
lelahnya. Berwarna kuning tua, bentuknya seperti rantai-rantai yang
terajut indah, terdapat hiasan seperti batu berwarna hijau sebesar
separuh buah cherry. “Gelang!” lirih dari mulutnya, lalu ia beranjak dan
memungutnya. Kembali memperhatikan perhiasan yang kini ada di
tangannya, tak pernah ia memegang benda sebagus itu sebelumnya.
Sesaat
kemudian ia menoleh, mengongak sembari berjinjit tinggi-tinggi mencari
kemana perginya perempuan tadi. Tak terlihat lagi, hilang diantara
ramainya manusia yang hilir-mudik dan mereka yang sedang bertransaksi.
Tanpa
pikir dua kali, nurani bocah kumel itu menuntun langkah kaki
telanjangnya untuk berlari, meliak-liuk diantara pundak dan ketiak orang
dewasa di pasar itu, mencari kemana perginya si pemilik gelang yang ia
simpan erat di genggamannya kini.
Di
persimpangan ia jadi bimbang memilih arah mencari, kanan atau kiri,
atau mungkin terus lurus saja, bingung ia dibuatnya. Ia melihat sebuah
meja kosong di sudut toko dekat persimpangan itu, lalu naik berdiri di
atasnya. Ia melihat kearah kiri, secermatnya ia mengamati, sayang tak
terlihat perempuan berkerudung merah jambu. Ia geser pandangannya lurus
jauh ke depan, tak juga ia melihatnya. Ke arah kanan, ia mencari dengan
lebih cermat lagi, “itu dia!” serunya. Ia melompat dan berlari
mendekati perempuan yang kini sedang berbicara pada seorang lelaki di
teras sebuah toko beras.
“Bu!,” Alip terengah-engah sambil memegang dada.
Sejenak perempuan itu menghentikan pembicaraanya, ia melongok, “Ada apa nak?” ramahnya dengan penuh tanya.
“ini gelang ibu tadi terjatuh”
Reflek
perempuan itu memegang pergelangan tangan dimana gelang itu seharusnya
berada, “Astafirllohaladzim…terimakasih ya nak,” ia tersenyum,
memandangi anak manusia berpakaian lusuh yang berdiri di hadapannya,
lelah pun masih terlihat jelas dari nafas bocah itu yang terengah.
“Namamu siapa nak?” sambil perempuan itu memegang pundak Alip
“Saya Alip bu,”
“Terimakasih ya nak Alip…”
Alip menganggukan kepala, lalu memutar badannya untuk segera meninggalkan perempuan itu,
“Tunggu
nak! Ini untukmu, tanda terimakasih dari ibu,” selembar kertas merah ia
berikan pada Alip, bocah yang telah mengembalikan perhiasan hadiah
ulang tahun dari suaminya empat puluh delapan jam yang lalu.
“Seratus ribu!”.
Subhanallah... Merinding saya bacanya.
ReplyDeleteTerimakasih Alip, sudah memberikan pelajaran sangat berharga sore ini :)
Slamat ulang tahun juga untuk ayahnya Alip yaa :)
Makasih ya ibunya Alip.. hahaha :p
Deletewahhh keren si alip....
ReplyDeletepelajaran berharrga untuk kita,,,
Thanks lulu..:)
Delete