31 July 2013

[Dialog] Konferensi Binatang

Di bawah pohon Ulin siang ini terlihat ramai, binatang yang hadir sedang seru-serunya membahas Manusia yang selalu mengejar dan merampas apa saja dari mereka.

"Populasi kami semakin sedikit!" teriak Badak dan Gajah bersamaan.

"Mereka mencabut Cula kami!" lanjut Badak.

"Kami di tembaki hingga setengah mati, setelahnya Gading kami juga di cabutnya!" timpal Gajah.

"Mereka memukuli kami," Monyet menangis,"Di bawah terik Matahari kami mereka paksa menari-nari, memakai topeng, naik Egrang dan sebentuk Motor yang mereka buat dari kayu, mereka menarik-narik rantai di leher kami agar kami punguti kertas dan koin yang dilemparkan dari atas kendaraan, jika kami lelah, mereka memberi kami obat penambah tenaga yang seharusnya hanya untuk manusia."

Selanjutnya giliran Cendrawasih yang berbicara.

"Mereka mengambil bulu kami yang indah, mereka jadikan hiasan di rumah-rumah, tinggal sedikit dari kami yang tersisa, andai mereka paham bahasa kami, tentu kami akan sampaikan jikala kami lebih suka menghiasi Nusantara ini ketimbang dinding-dinding rumah mereka," Cendrawasih diam sejenak, "Di perjalananku ke sini tadi aku melihat Hiu terdampar di Pantai, sirip-siripnya tak lagi melekat di badannya, Hiu terisak dan mengatakan padaku bahwa Manusia akan mendapatkan uang banyak dengan membuat Siripnya menjadi Sup,"

Cendrawasih terus melanjutkan ceritanya,

15 July 2013

Kisah Alip

“Seratus ribu!” gumam Alip bersama matanya yang mengembang, “Beneran ini untuk saya bu?” ia masih tidak percaya.
Perempuan itu hanya tersenyum, sedikit mengangguk sambil memandangi wajah sumringah bocah itu.
“Terimakasih bu, terimakasih,” ia meraih tangan perempuan itu dan menciumnya.
Ia kemudian berlari dengan gembira terpancar di wajahnya, hilang semua lelah dan dahaga sebelumnya. Aku akan membelikan ayah sarung dan juga kopiahnya, akan ku beli motif yang sama untukku juga, agar kami kelihatan kompak saat tarawih di mushola, suara Alip dari hati.
***
Lima jam lalu ketika matahari belum terlalu tinggi, Alip mengayuh kakinya dengan semangat, senyum tampak mengembang di wajahnya, saku celana lusuhnya membumbung dan tercipta bunyi koin-koin yang beraradu di tiap langkahnya. Dua puluh empat ribu lima ratus rupiah, jumlah yang sudah ia pastikan sebelumnya, saat mentari belum terbangun di timur pagi, bahkan Alip telah menghitungnya. Ia menyobek kaleng susu yang dijadikannya sebagai tempat menyisihkan uang kertas juga koin-koin hasil jerih payah memulung gelas dan botol plastik sejak sembilan minggu lalu. Pasar hanya tinggal beberapa puluh meter di depan mata, ia ingin mewujudkannya kali ini, menghadiahi Ayahnya sepotong kain sarung.
Tak lama setelahnya ia berdiri di muka sebuah toko kain, memberanikan diri masuk dan menemui seorang karyawati yang sedang membenarkan susunan kain di rak sebelah kiri, rak khusus tumpukan sarung yang menunggu pembeli.
“Berapa harga untuk yang ini?” Alip menunjuk sepotong kain sarung hijau bergaris merah kotak-kotak,
Karyawati itu berenti menyusun sejenak, matanya melirik pada rambut bocah di sampingnya yang pirang sebab sering terjemur terik matahari, kemudian turun memandangi kaos putih yang tak lagi cerah dan celana merah persis seperti yang di kenakan anak-anak setiap berangkat ke Sekolah Dasar, juga telah kusam.
“Itu tiga puluh enam ribu,”
Si karyawati menyusun kain-kain di rak itu kembali.
“Dua puluh empat ribu lima ratus boleh?” tawar Alip
“Di sini harga pas dek, tidak bisa ditawar,” wanita itu kemudian mengarahkan telunjuk kanannya ke tumpukan kain sarung yang terletak tepat di samping kaki kiri Alip, “Itu yang lebih murah, harganya dua puluh delapan ribu. Paling murah diantara sarung merek lain, juga harga pas.”
Sejenak bocah itu terdiam, membalikan badan lalu melangkah menuju pintu keluar. Itu adalah toko kain pertama yang ia datangi, Alip yakin akan menemukan toko yang menjual kain sarung dengan harga lebih murah yang mampu ia beli hari ini.

13 July 2013

Fiksimini, Fiksi yang Mungil

Sumer Gambar
Pernah kalian dengar tentang Fiksimini?
Saya sendiri belum lama tahu soal jenis sastra yang satu ini, mulanya berselancar membaca cerpen di beberapa blog, hingga saya menemukan tulisan tentang fiksimini di blog milik Agus Noor. Fiksimini merupakan sebuah cerita pendek/mungil, tentunya berbeda dengan Cerpen sebab pada Fiksimini alur dan akhir ceritanya justru diserahkan kepada imajinasi pembacanya. Karena kebebasan pembaca dalam menghayalkan ceritanya, maka (kemungkinan besar) akan ada perbedaan dari penulis dan pembaca dalam menafsirkannya.

Pada akhirnya saya pun tertarik untuk membuat Fiksimini sendiri, Mulai berimajinasi dan menuangkannya. Sekarang silahkan giliran kalian yang berimajinasi, menghayalkan kiranya apa yang sedang terjadi dengan membaca beberapa Fiksimini berikut ini :

Di Sebuah Putaran Jalan Raya
Mobil semakin mengular. Prit priiit "Terus pak...yak yak terimakasih," ia terima uang ribuan. Tak jauh dari situ ada Pos dan Polisi Tidur.

Teras Cafe

Mulutmu tak berhenti bicara, di parasmu hujan semakin deras jatuhnya, Jemari lentikmu mendarat di pipiku - Memang salahku.

Anak Pertama
RUMAH BERSALIN - "Bu Bidan, Jangan dikeluarkan dulu, Bapaknya belum ketemu".

Sebentar Lagi Lebaran
Bulan Ramadhan, "Bilang ke yang lain, selepas Ashar nanti ditunggu Kepala Stasiun di ruangannya," pesan seorang calo kepada temannya.

Pernikahan Orang Tercinta
Ia percaya kalau jodoh pasti bertemu di pelaminan. Kali ini ia benar di samping Felicia, fotografer sibuk mengatur pose mereka. Ia menjabat Felicia - Selamat ya.

dan ini ada satu Fiksimini karya sabahat saya yang namanya persis sama indahnya dengan ibu kota Austria, Vienna.

Rindu
Angin malam berbisik padaku, "Aku rindu kau". Nyatanya kau tak pernah berhubungan dengan udara. Aku yakin itu pasti orang lain.

Sandy Corat-coret! © 2012 | Created by Sandy A. | Powered by Blogger.com